Minggu, 28 Februari 2021

Itmamul Harokat

 Itmamul Harokat


Nama             : M. Nur Syamsul Huda

Matkul           : Tahsinul Qur`an

Prodi              : PBA  



Itmamul Harokat (Kesempurnaan Harokat)

Kompilasi dan Alih Bahasa : Reza Ervani bin Asmanu


من الخطاء الشائعة في قراءة القرآن عدم ضم الشفتين عند النطق بالحرف المضموم, إذ أن كل حرف مضموم لا يتم ضمه إلا بضم الشفتين و إلا كان ضمه ناقصًا. و لا تتم الحرف إلا بتمام حركته, فإن لم يتم الحركة لا يتم الحرف. وكذلك الحرف المكسور لا يتم إلا بخفض الفك السفلى, و إلا كان كسره ناقصًا, و كذلك الحرف المفتوح لا يتم إلا بفتح الفم و إلا كان فتحه ناقصًا

Salah satu kesalahan umum saat membaca Al Quran adalah tidak mengumpulkan bibir saat melafazhkan huruf-huruf dhommah, padahal seluruh huruf dhommah tidak sempurna dhommahnya kecuali dengan mengumpulkan bibir. Jika tidak demikian, maka dhommahnya menjadi kurang, karena tidaklah sempurna huruf kecuali dengan menyempurnakan harokatnya. Jika tidak sempurna harokatnya, maka tidaklah sempurna pula huruf.

Demikian pula huruf kasrah, tidak sempurna kecuali dengan menurunkan rahang bawah, jika tidak maka kasrahnya menjadi kurang. Begitu pula dengan huruf fathah, tidak sempurna kecuali dengan membuka mulut, jika tidak maka fathahnya menjadi kurang.

و إلى ذلك أشار العلامة الطيبي :

Tentang hal tersebut, Imam Ath Thibi menyebutkan dalam Manzhumahnya :

وَكُـلُّ مَضْمُـومٍ فَلَـنْ يَتِـمَّا * إِلَّا بِـضَـمِّ الشَّفَتَـيْنِ ضَـمَّـا

Dan setiap dhommah tidak akan sempurna kecuali dengan mengumpulkan (memonyongkan) dua bibir

وَذُو انْخِفَاضٍ بِانْخِفَاضٍ لِلْفَـمِ * يَتِـمُّ وَالْمَفْتُوحُ بِالْفَتْـحِ افْهَـمِ

Dan khafadh (kasrah) dengan merendahkan rahang maka akan sempurna, dan fathah dengan membuka. Fahamilah

إِذِ الْحُرُوفُ إِنْ تَكُنْ مُحَرَّكَـهْ * يَشْرَكُهَا مَخْرَجُ أَصْلِ الْحَـرَكَهْ

Jika hurufnya berharokat, bergabung makhrojnya dengan ushul harokat

أَيْ مَخْرَجُ الْوَاوِ وَمَخْرَجُ الْأَلِفْ * وَالْيَاءُ فِي مَخْرَجِهَا الَّذِي عُـرِفْ

Yakni makhroj Wawu, makhroj Alif dan ya pada makharojnya yang telah diketahui

فَـإِنْ تَـرَ الْقَارِئَ لَـنْ تَنْطَبِقَا * شِفَاهُـهُ بِالضَّمِّ كُـنْ مُحَقِّـقَا

Maka jika engkau melihat seorang qaari bibirnya tidak dhommah (mengumpul), maka perbaikilah

بِأَنَّـهُ مُنْتَـقِـصٌ مَـا ضَـمَّ * وَالْـوَاجِبُ النُّـطْقُ بِـهِ مُتَمَّـا

Dikarenakan kurang mengumpulkan (monyong), dan wajib membunyikannya dengan sempurna

كَذَاكَ ذُو فَتْحٍ وَذُو كَسْرٍ يَجِبْ * إِتْـمَامُ كُـلٍّ مِنْهُمَا افْهَمْهُ تُصِبْ

Demikian pula fathah dan kasrah, wajib di-itmam-kan (sempurnakan) keduanya, pahamilah

فَالنَّقْصُ فِي هَـذَا لَـدَى التَّأَمُّلِ * أَقْبَحُ فِي الْمَعْنَى مِنَ اللَّحْنِ الْجَلِي

Maka kurang hati-hati dalam hal ini dapat menyelewengkan makna hingga jatuh ke dalam lahn jaliy

إِذْ هُـوَ تَغْيِيرٌ لِـذَاتِ الْحَرْفِ * وَاللَّحْنُ تَغْيِيرٌ لَـهُ بِالْـوَصْـفِ

Karena merubah dzat huruf dan merupakan lahn yang dapat merubah definisi kata

Makna Kalam tersebut :

أن الحروف تيقص بنقص الحركات فتكون حينئذ أقبح من اللحن الجلي لأن النقص من ذات الحرف أقبح من ترك الصفات

Bahwa huruf menjadi tidak sempurna dengan tidak sempurnanya harokat, sehingga bisa jadi lebih buruk dari lahn jaliy, dikarenakan mengurangi dzat huruf lebih buruk dari meninggalkan sifat huruf.

فمثلا : عند النطق بالباء المضمومة (بُ) : نضم الشفتين فإذ قلنا (( بُو ))  ازداد من ضم الشفتين لأن الضمة عبارة عن (( واو )) قصيرة  , زمنها نصف زمن حرف المد, و كذلك الفتحة عبارة عن (( ألف)) قصيرة, و كذلك الكسرة عبارة عن (( ياء )) قصيرة

Misalnya dalam penyebutan huruf baa dhommah, berkumpul bibir sehingga kita menyebut “Bu” disebabkan mengangkatnya bibir yang berkumpul, dikarenakan dhommah adalah representasi dari wawu qashirah (pendek), yang panjangnya separuh dari panjang huruf mad. Demikian juga fathah adalah representasi dari alif qashirah dan pula kasrah adalah representasi dari huruf ya qashirah.

و عند قولنا : كَتَبَ رَبُّكُمْ عَلَىٰ نَفْسِهِ الرَّحْمَةَ ۖ

لابد من فتح ما بين الشفتين عند النطق بكلمة – كَتَبَ – و مساواة زمن النطق باالفتحة في الكاف والتاء و الباء, لأن الحركات تساوي أزمنة الحروف

Kedua bibir haruslah membuka saat melafazkan kata – Kataba. Lamanya penyebutan fathah pada huruf Kaaf, Taa dan Ba adalah sama, dikarenakan lamanya/panjang harokat sama dengan lamanya/panjang huruf.

كذلك عند نطقنا ( كُنْتُمْ ) لا بد من ضم الشفتين مثل ضم الشفتين في قولنا : ( كُونُو ) أي لا بد أن يتساوى صوت الضمة في الحالتين لأن القاعدة هي ( و اللفظ في نظيره كمثله ) كما عبر عن هذا ابن الجزري في المقدمة

Demikian pula dalam penyebutan : Kuntum – mestilah mengumpulkan bibir seperti mengumpulnya bibir saat kita menyebut : Kuunuu – sehingga haruslah sama suara dhommah diantara keduanya, karena kaidahnya adalah

و اللفظ في نظيره كمثله

“Dan setiap lafazh yang sama hukumnya mesti konsisten ketika mengucapkannya”, sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Al Jazariy dalam Muqaddimah-nya

كذلك إذا قلنا : ( بسم الله ) لابد من تحقيق الكسر و لا ننطقها بين الكسرة و الفتحة

Demikian pula saat kita menyebut : Bismilah – mestilah mentahqiqkan (menyebutkan dengan jelas) kasrah, tidak melafazhkannya (secara samar) antara kasrah dan fathah.

و مثلا قولنا : ( ولله المشرق و المغرب ) – لا بد من تحقيق كسرة الراء و نطقها مكسورة كسرًا تامًّا مثل نطق كلمة : ريح

Misalnya dalam penyebutan : wa lillahil masyriqi wal maghrib (Al Baqarah ayat 115) – mestilah mentahqiqkan (membaca dengan jelas) kasrah pada huruf ro, dan menyempurnakan kasrah seperti pada penyebutan : riihi

و تظهر مهارة القارئ عند توالي الحركات فمثلا عند نطقتا  ( تُبْتُمْ ) : نضم الشفتين أولًا للنطق بالتاء المضمومة, ثم نرجع الشفتين لوضع السكون للنطق بالباء الساكنة, ثم نعود لضم الشفتين النطق بالتاء لثانية المضمومة, ثم نعود لوضع السكون للنطق بالميم الساكنة

Kita mendapati seorang qori yang mahir membaca harokat yang berurutuan seperti pada : tubtum – pertama-tama mereka mengumpulkan kedua bibir saat menyebut huruf ta dhommah, kemudian mengembalikan bibir ke posisi sukun untuk melafazhkan huruf ba sakinah, kemudian kembali mengumpulkan kedua bibir untuk melafazhkan huruf ta dhommah yang kedua, kemudian kembali ke posisi sukun untuk melafazhkan mim sukun.

Allahu Ta’ala ‘A’lam

[Taisir Rahman fii Tajwidil Quran halaman 39 s.d. 41]


Senin, 22 Februari 2021

SEKILAS TENTANG ILMU TAJWID

Matkul             : Tahsinul Qur`an

Nama               : M. Nur Syamsul Huda

Prodi                : PBA  


SEKILAS TENTANG ILMU TAJWID



A. Pengertian ilmu tajwid
Ilmu tajwid merupakan bagian dari ilmu ulumul Qur’an yang perlu dipelajari,mengingat ilmu ini berkaitan dengan bagaimana seseorang dapat membaca Al Qur’an dengan baik. Sebagai ilmu tajwid dapat dipelajari sendiri, karena mempunyai syarat-syarat ilmiah,seperti adanya tujuan fungsi dan objek serta sistematik tersendiri.
Tajwid (تَجْوِيْدٌ ) merupakan bentuk masdar, berakar dari fiil madhi  (َجَوَّد)  yang berarti membaguskan“.  Muhammad Mahmud dalam Hidayatul mustafiq memberikan batasan arti tajwid dengan ( الاِتْيَانُ بِالْجَيِّدِ ) yang berarti ‘’memberikan dengan baik”. Sedangkan menurut arti istilahnya :

اَلتَّجْوِيْدُهُوَعلْمٌ يُعْرَفُ بِهِ اِطَاءُكُلِّ حَرْفٍ حَقَّهُ وَمُسْتَحَقَّهُ مِنَ الصِّفَاتِ وَالْمُدُودِ وَغَيْرِ ذَالِكَ كَالتَرْقِيْقِ وَالتَّفْخِيْمِ وَنَحْوِهِمَا.

Ilmu tajwid adalah ilmu yang berguna untuk mengatahui bagaimana cara melafalkan huruf yang benar dan di benarkan, baik berkaitan dengan sifat, mad, dan sebagainya, misalnya Tarqiq, Tafhim dan selain keduanya.’’

Pada pengertian itu dijelaskan, bahwa ruang lingkup tajwid berkenaan dengan melafalkan huruf-huruf hijaiyah dan bagimana tata cara melafalkan huruf-huruf tersebut sebaik-baiknya, apakah ia dibaca panjang, tebal, tipis, berhenti terang, berdengung, dan sebaigainya. Jika huruf tersebut dilafalkan sebagaimana tata caranya, maka fungsi tajwid sebagai ilmu memperbaiki tata cara membaca Alqur’an terpenuhi dan meyelamatkan pembaca dari perbuatan yang diharamkan. Namun jika hal itu diabaikan maka menjerumuskan pembaca pada perbuatan haram atau dimakruhkan. Misalnya berhenti pada kalimat yang haram waqaf, jika tuntunan ini diabaikan menjadikan perubahan makna yang meyalahi tujuan makna aslinya, dan mengakibatkan berdosa bagi pembaca.

B. Tujuan mempalajari ilmu tajwid
Sebagai disiplin ilmu, tajwid mempunyai tujuan tersendiri.
Sedangkan tujuanya mengacu pada pegertian tajwid diatas. adapun tujuan yang dimaksud adalah :

  1. Agar pembaja dapat melafalkan huruf-huruf Hijaiyah dengan benar, yang di sesuaikan dengan mahraj dan sifatnya.
  2. Agar dapat memelihara kemurnian bacaan Alqur’an melalui tata cara membaca alqur’an yang benar, sehinga keberadaan bacaan Alqur’an dewasa ini sama dengan bacaan yang pernaj diajarkan oleh Rasulullah, mengingat bacaan Alqur’an bersifat “ tanqifi’’, yakni mengikuti apa yang diajarkan rasulullah saw. Allah berfirman :

 

اِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْاَنَهُ فَاءِذَأَقَرَأْنَهُ فَاتَّبِعْ قُرْاَنَهُ (القيامة : ١٧-١٨

Sesungguhnya mengumpulkan Alqur’an dan membacanya adalah tangung jawab kami, jika kami telah membacakan, maka kamu ikuti bacaan itu.” ( Q.S. 75, Al-qiyamah: 17-18 )
3. Menjaga lisan pembaca, agar tidak terjadi kesalahan yang mengakibatkan terjerumus ke perbuatan dosa.

Dari ketiga tujuan tersebut, maka dalam proses belajar-mengajar ilmu tajwid harus mempunyai kiat tersendiri untuk memenuhi tujuan yang di inginkan. Kiat yang dimaksudkan dapat berupa upaya sebagai berikut :

  1. Antara guru dan siswa dalam proses belajar-mengajar harus berhadap-hadapan, sehingga siswa mengerti benar suara yang dialunkan sekaligus dapat melihat mimik gurunya. Demikian itu sangat membantu dalam mengetahui kedudukan huruf secara pasti, baik berkaitan dengan mahraj maupun sifatnya.
  2. Setelah pemberian teori ilmu tajwid, seorang guru langsung mempraktekkan teorinya, sehinga apa yang sudah dimiliki siswa tidak terlupakan dan memberikan pengalaman praktek secara benar.
  3. Perlu pembiasaan membaca secara tekun, rajin, dan tabah bagi siswa dan seorang guru tetap memperhatikan bacaan siswanya.
  4. Dalam praktek membaca Alqur’an, tidak perlu mengejar kuantitas (membaca yang banyak) tetapi yang lebih penting adalah meraih kualitas (biar sedikit asalkan benar), karena dengan belajar praktek sedikit yang benar maka mempermudah praktek selanjutnya. Sebaliknya, jika yang sudah dibaca itu banyak kesalahan, maka lebih sulit memperbaikinya.

C. Hukum Mempelajari Ilmu tajwid
Menurut Muhammad Mahmud, hukum mempelajari ilmu tajwid adalah fardu kifayah (wajib refresentatif), yaitu kewajiban yang boleh diwakilkan oleh sebagian orang muslim saja, namun praktek pengamalannya fardu ain (wajib personal), yaitu kewajiban yang harus dilakukan oleh seluruh pembaca Alqur’an.

Dilihat dari hukum tersebut, ilmu tajwid dapat diklasifikasikan sebagai ilmu alat yang dapat membantu perbaikan membaca Alqur’an, sehinga jika ilmu alat sudah dikuasai, mengharuskan adanya praktik, sampai alat itu benar-benar berfungsi sebagai penunjang yang dituju. Allah berfirman:

وَرَتِّلِ الْقُرْاَنَ تَرْتِيْلًا . المزمل :٤
“Dan bacalah Alqur’an itu dengan bacaan yang tertil ” ( Q.s : Al-muzammil :4 )

Pada firman diatas disebutkan lafal “ tartil” yang sebenarnya lafal tersebut mempunyai dua makna.
Pertama : makna hissiyah, yaitu dalam pembacaan Alqur’an diharapkan tenang, pelan, tidak tergesah-gesah, disuarakan dengan baik, bertempat ditempat yang baik dan tata cara lainnya yang berhubungan dengan segi-segi inderawi ( penglihatan ).
Kedua : makna maknawi, yaitu dalam membaca Alqur’an diharuskan dengan ketentuan tajwidnya, baik berkaitan dengan makhraj, sifat, mad, waqaf dan sebagainya. Makna kedua inilah yang pernah diyatakan oleh kholifah Ali bin abi Thalib, bahwa yang dimaksud tartil adalah ilmu tajwid yang berarti:

تَحْسِيْنُ الْحُرُوفِ وَمَعْرِفَةٌ الْوُقُوفِ 
“Perbaikan bacaan huruf-hurufnya serta mengetahui tempat pemberhentian kalimat ”

Cukup sampai disini untuk pembahasan tentang Pengertian ilmu tajwid, tujuan dan hukum mempelajarinya.
Semoga menambah wawasan dan dapat menggerakkan hati kita untuk menjalankannya, amin

Minggu, 14 Februari 2021

MOTIVASI MEMPELAJARI ALQUR`AN

 Jadilah Ahli al-Qur’an ! JADILAH AHLI AL-QUR’AN ! 


Matkul             : Tahsinul Qur`an

Nama               : M. Nur Syamsul Huda

Prodi                : PBA  


Oleh Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA

 Siapa tidak ingin menjadi ahli al-Qur’an? Inilah kedudukan hamba yang paling mulia dan tinggi di sisi Allâh Azza wa Jalla . Cukuplah hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini menunjukkan agungnya kedudukan ini: Dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu beliau berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

: إِنَّ لِلَّهِ أَهْلِينَ مِنَ النَّاسِ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَنْ هُمْ؟ قَالَ: هُمْ أَهْلُ الْقُرْآنِ، أَهْلُ اللَّهِ وَخَاصَّتُهُ 

“Sesungguhnya di antara manusia ada yang menjadi ‘ahli’ Allâh”. Para Sahabat Radhiyallahu anhum bertanya, “Wahai Rasûlullâh! Siapakah mereka?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Mereka adalah ahli al-Qur’an, (merekalah) ahli (orang-orang yang dekat dan dicintai) Allâh dan diistimewakan di sisi-Nya [1]

Hadits ini menunjukkan tingginya kedudukan dan kemuliaan orang-orang yang menjadi ahli al-Qur’an, karena mereka disebut sebagai ‘ahli Allâh’. Artinya merekalah para wali (kekasih) Allâh Azza wa Jalla yang sangat dekat dan istimewa di sisi-Nya, sebagaimana seorang manusia dekat dengan ‘ahli’ (keluarga)nya. Gelar ini merupakan bentuk pemuliaan dan pengagungan terhadap mereka.[2]

 Keutamaan dan kemuliaan besar ini tentu menjadikan setiap orang yang beriman kepada Allâh Azza wa Jalla dan hari akhir, berusaha untuk mengejar dan meraihnya. Apalagi Allâh Azza wa Jalla telah menjanjikan bahwa al-Qur’an akan Allâh Subhanahu wa Ta’ala jadikan mudah sebagai petunjuk dan peringatan bagi orang-orang yang beriman, termasuk dalam hal memahami kandungannya dan meraih kemuliaan sebagai ahlinya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

 وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ 

Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Qur’an untuk peringatan atau pelajaran, maka adakah orang yang (mau) mengambil pelajaran? [Al-Qamar/54:17] 

Syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata, “Makna ayat ini: Sungguh Kami telah menjadikan al-Qur’an yang mulia itu mudah, lafazhnya mudah untuk dihafalkan dan disampaikan (kepada orang lain), juga (kandungan) maknanya mudah untuk dipahami dan dimengerti. Karena al-Qur’an adalah perkataan yang paling indah lafazhnya, yang paling benar (kandungan) maknanya, dan paling jelas penafsirannya. Maka setiap orang yang menghadapkan diri (bersungguh-sungguh mempelajari)nya, Allâh Azza wa Jalla akan memudahkan baginya dan meringankannya (untuk mencapai) tujuan tersebut. Peringatan atau pelajaran (yang dimaksud dalam ayat ini) meliputi semua bentuk peringatan atau pelajaran bagi manusia, (baik itu) berupa (penjelasan) halal dan haram, hukum-hukum perintah dan larangan, hukum-hukum balasan (ganjaran pahala atau siksaan di akhirat), nasehat-nasehat dan perenungan, keyakinan-keyakinan yang bermanfaat serta berita-berita yang benar. Oleh karena itu, ilmu (tentang) al-Qur’an, (baik dalam hal) menghafalnya atau memahami tafsirannya, adalah ilmu yang paling mudah dan paling tinggi (kedudukannya dalam Islam) secara mutlak. Inilah ilmu yang bermanfaat, jika seorang hamba (bersungguh-sungguh) mempelajarinya maka dia akan ditolong (dimudahkan oleh Allâh Azza wa Jalla untuk memahaminya). Salah seorang Ulama Salaf mengomentari ayat ini dengan mengatakan, “Apakah ada orang yang (mau bersungguh-sungguh) menuntut ilmu (mempelajari al-Qur’an) sehingga Allâh Azza wa Jalla akan menolongnya?. Oleh karena itu, Allâh mengajak (memotivasi) para hamba-Nya untuk menghadapkan diri dan (bersungguh-sungguh) mempelajari al-Qur’an, dalam firman-Nya (di akhir ayat ini): فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ … Maka adakah orang yang (mau) mengambil pelajaran?[3]

 TINGGINYA KEDUDUKAN DAN KEUTAMAAN ORANG YANG MEMAHAMI AL-QURAN Cukuplah firman Allâh Azza wa Jalla berikut ini untuk menunjukkan betapa tinggi kemuliaan dan keutamaan orang-orang yang dianugerahi pemahaman al-Qur’an yang benar:

 قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ 

Katakanlah, “Dengan karunia Allâh dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka (orang-orang yang beriman) bergembira (berbangga), karunia Allâh dan rahmat-Nya itu lebih baik dari apa (kesenangan duniawi) yang dikumpulkan (oleh manusia) [Yûnus/10:58] 

Dalam ayat ini Allâh Azza wa Jalla memerintahkan orang-orang yang beriman agar mereka merasa bangga (gembira dan bahagia) dengan anugerah yang Allâh Azza wa Jalla limpahkan kepada mereka. Anugerah yang berupa pemahaman terhadap al-Qur’an dan kesempurnaan iman. Dan Allâh Azza wa Jalla menyatakan bahwa anugerah dari-Nya itu lebih indah dan lebih mulia dari semua kesenangan dunia yang diperebutkan oleh kebanyakan manusia. ”Karunia Allâh” dalam ayat ini ditafsirkan oleh para Ulama ahli tafsir dengan “keimanan”, sedangkan “Rahmat Allâh” ditafsirkan dengan “al-Qur’an”. Keduanya (yaitu keimanan dan al-Qur-an) adalah ilmu yang bermanfaat dan amalan shaleh, sekaligus keduanya merupakan petunjuk dan agama yang benar (yang dibawa oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Bahkan keduanya merupakan ilmu yang paling tinggi dan amal yang paling utama.[4]

 Dalam sebuah hadits yang shahih, dari ‘Utsman bin ‘Affân Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 

خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ 

Sebaik-baik orang di antara kamu adalah yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya (kepada orang lain)[5]

. Hadits yang agung ini menunjukkan tingginya keutamaan orang yang mempelajari al-Qur’an, mempelajari cara membacanya dengan tajwid yang benar, memahami kandungannya dan berusaha menghafalnya dengan baik, kemudian mengajarkannya kepada orang lain, agar petunjuk dan kebaikan yang terkandung di dalamnya tersebar dan di amalkan manusia. Bahkan sebagian dari Ulama mengatakan bahwa barangsiapa mengikhlaskan niatnya dan selalu menyibukkan diri dengan mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya, maka termasuk ke dalam golongan para Nabi Alaihissallam (pengikut para Nabi Alaihissallam yang setia).”[6]

 Imam asy-Syâfi’i rahimahullah berkata, “Barangsiapa mempelajari al-Qur’an maka akan tinggi kedudukannya.[”7] 

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Mempelajari dan mengajarkan al-Qur’an (dalam hadits ini) mencakup mempelajari dan mengajarkan lafazhnya, juga mempelajari dan mengajarkan kandungan maknanya.”[8]

 Dan masih banyak ayat al-Qur’an dan hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan hal ini, cukuplah ayat dan hadits di atas sebagai contoh yang menggambarkan betapa agung kedudukan orang yang memahami al-Qur’an. AL-QUR’AN SUMBER PETUNJUK KEBAIKAN DAN OBAT PENYAKIT HATI Agungnya kedudukan orang yang memahami al-Qur’an, juga semakin terlihat jelas dengan merenungkan besarnya fungsi diturunkannya al-Qur’an itu sendiri, yaitu sebagai sumber petunjuk dalam kebaikan dan obat penyakit hati manusia. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

 يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ 

Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu nasehat atau pelajaran dari Rabbmu (al-Qur’an) dan penyembuh bagi penyakit-penyakit dalam dada (hati manusia), dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman [Yûnus/10:57] 

Dalam ayat ini, Allâh Azza wa Jalla mengabarkan tentang anugerah besar yang diturunkan kepada para hamba-Nya, yaitu al-Qur’an yang mulia. Karena di dalam al-Qur’an terdapat nasehat untuk menjauhi perbuatan maksiat, penyembuh bagi penyakit hati, yaitu kelemahan iman, keragu-raguan dan kerancuan dalam memahami agama, serta penyakit syahwat yang merusak hati. Juga terdapat petunjuk, yaitu bimbingan bagi orang yang merenungkan, memahami, dan mengikuti al-Qur’an ke jalan yang bisa mengantarkannya ke surga, serta sebab-sebab untuk mendapatkan rahmat Allâh Azza wa Jalla yang terkandung di dalamnya.[9]

 Dalam ayat lain, Allâh Azza wa Jalla berfirman: 

إِنَّ هَٰذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا كَبِيرًا 

Sesungguhnya al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang paling lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang Mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar [Al-Isrâ’/17:9]

 Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata, “(Dalam ayat ini) Allâh Azza wa Jalla mengabarkan tentang kemuliaan dan keagungan al-Qur’an, bahwa kitab ini memberikan petunjuk menuju (jalan) yang paling lurus dan paling mulia dalam keyakinan, amal dan akhlak. Sehingga barangsiapa mengikuti petunjuk yang diserukan dalam al-Qur’an, maka dia akan menjadi orang yang paling sempurna, paling lurus dan paling terbimbing dalam segala urusannya.”[10]

 Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menegaskan tingginya kedudukan dan sempurnanya petunjuk al-Qur’an dalam semua kebaikan dan keutamaan. Beliau rahimahullah mengatakan, “Tidak ada satu kitabpun di kolong langit yang mengandung bukti-bukti dan argumentasi tentang perkara-perkara mulia yang dituntut (dalam Islam), yaitu tauhid, penetapan sifat-sifat Allâh, hari kebangkitan dan kenabian, juga sanggahan terhadap kelompok-kelompok yang menyimpang dan pemikiran-pemikiran yang rusak, tidak ada satupun yang seperti al-Qur’an. Sesungguhnya al-Qur’an menjamin dan menanggung semua itu dalam bentuk yang paling baik dan sempurna, paling masuk akal, serta paling jelas penjabarannya. Maka al-Qur’an merupakan obat penyembuh yang sejati bagi penyakit-penyakit syubhat (kerancuan dalam memahami Islam) dan keragu-raguan. Baca Juga  Perbaikilah Niat Anda Dan Perbanyaklah Membaca Al-Qur'an Namun, semua itu bergantung pada pemahaman dan penghayatan terhadap kandungan makna al-Qur’an. Barangsiapa dinugerahkan oleh Allâh Azza wa Jalla hal itu, maka dia akan dapat memandang (dan dapat membedakan) kebenaran dan kebatilan secara jelas dengan hatinya, sebagaimana dia bisa memandang (dan bisa membedakan dengan jelas) siang dan malam hari.”11]

 SYARAT MENDAPATKAN MANFAAT DARI PETUNJUK AL-QUR’AN Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Jika kamu ingin mendapatkan manfaat dari (petunjuk) al-Qur’an, maka pusatkanlah hatimu ketika membaca dan menyimaknya, fokuskanlah pendengaranmu, serta hadirkanlah dirimu sebagaimana hamba Allâh (Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang menerima al-Qur’an ini  menghadirkan dirinya (ketika diturunkan al-Qur’an kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Karena sesungguhnya al-Qur’an ini (sejatinya) merupakan petunjuk bagimu dari Allâh melalui lisan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam”[12]

 Petunjuk dan manfaat al-Qur’an sebagai nasehat dan peringatan, hanya akan Allâh Azza wa Jalla anugerahkan kepada hamba-Nya yang memiliki hati yang hidup (sehat dan jauh dari kotoran penyakit hati) dan terbuka untuk menerima petunjuk-Nya. Sebagaimana makna firman-Nya:

إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَذِكْرَىٰ لِمَنْ كَانَ لَهُ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ 

Sesungguhnya pada yang demikian itu (kisah-kisah dalam al-Qur’an) benar-benar terdapat peringatan (pelajaran) bagi orang-orang yang mempunyai hati (yang hidup/bersih) atau yang mengkonsentrasikan pendengarannya, sedang dia menghadirkan (hati)nya [Qâf/50:37] 

Juga firman-Nya:

إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ وَقُرْآنٌ مُبِينٌ ﴿٦٩﴾ لِيُنْذِرَ مَنْ كَانَ حَيًّا وَيَحِقَّ الْقَوْلُ عَلَى الْكَافِرِينَ 

al-Qur’an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan, supaya dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya) dan supaya pastilah (ketetapan azab) terhadap orang-orang kafir [Yâsîn/36:69-70]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud dengan hati (dalam ayat) ini adalah hati yang hidup (bersih dari noda syahwat atau syubhat) yang bisa memahami (peringatan atau petnjuk) dari Allâh.”[13]

 Oleh karena itu, upaya untuk memasukkan makna dan kandungan al-Qur’an ke dalam hati, ini merupakan syarat mutlak untuk mendapatkan manfaat dan nasehat dari petunjuk al-Qur’an. Dengan inilah Allâh Subhanahu wa Ta’ala memuji para hamba-Nya yang beriman dalam firman-Nya: 

بَلْ هُوَ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ فِي صُدُورِ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ ۚ وَمَا يَجْحَدُ بِآيَاتِنَا إِلَّا الظَّالِمُونَ

 Sebenarnya, al-Qur’an itu adalah ayat-ayat yang jelas di dalam dada (hati) orang-orang yang berilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zhalim” [al-‘Ankabût/29: 49] 

Upaya ini tidak lain adalah berusaha membaca al-Qur’an dengan memahami maknanya, merenungkan kandungnya dan menghayati petunjuknya, sebagaimana ucapan Imam Ibnul Qayyim yang kami nukilkan di atas, “ … namun semua (manfaat dan petunjuk al-Qur’an) itu bergantung pada pemahaman dan penghayatan terhadap kandungan makna al-Qur’an.”[14]

 Oleh karena itu, orang-orang yang hati mereka hidup dengan iman kepada Allâh Azza wa Jalla , mereka inilah yang akan bertambah kuat dan sempurna keimanan dan kebaikan dalam diri mereka setiap kali mereka mendengarkan bacaan ayat-ayat al-Qur’an yang merupakan bentuk dzikir kepada Allâh Azza wa Jalla yang paling agung, sebagaimana firman-Nya

 إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ 

Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allâh gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka Ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan hanya kepada Allâh mereka bertawakkal [al-Anfâl/8:2] 

Maka orang yang beriman dengan benar adalah orang yang ketika berdzikir kepada Allâh Azza wa Jalla , hatinya menjadi takut dan tunduk kepada-Nya. Ini akan menjadikannya selalu menjauhi perbuatan maksiat kepada-Nya. Karena bukti terbesar rasa takut yang benar kepada Allâh adalah menjadikan orang tersebut menjauhi perbuatan dosa dan maksiat. “Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya maka bertambahlah iman mereka”. Karena orang yang beriman ketika mendengarkan bacaan ayat-ayat al-Qur’an, dia benar-benar mendengarkannya dengan seksama dan menghadirkan hatinya untuk merenungkan kandungannya. Ketika itulah imannya bertambah dan semakin kuat. Karena dengan merenungkan kandungannya dia akan mendapatkan penjelasan hal-hal yang tidak diketahuinya sebelumnya, mengingatkan akan kelalaiannya, menumbuhkan motivasi kebaikan dalam dirinya, semangat untuk mengejar kemuliaan di sisi Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan rasa takut terhadap siksa-Nya. Semua perkara ini akan menumbuhkan dan menyempurnakan keimanannya”[15] 

TADABBUR (RENUNGAN) DAN HAYATI KANDUNGAN AL-QUR’AN! Al-Qur’an diturunkan untuk dibaca dan direnungkan maknanya, serta dihayati petunjuknya, agar bisa menjadi sebab kebaikan bagi diri manusia, lahir dan batin. Allâh Azza wa Jalla berfirman: 

كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ 

Ini adalah sebuah kitab (al-Qur-an) yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah, supaya mereka merenungkan (makna) ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran [Shâd/38:29]

 Imam al-Hasan al-Bashri t berkata, “Demi Allâh! Bukanlah mentadabburi al-Qur’an dengan (hanya) dengan menghafal huruf-huruf (lafazh)nya tapi melalaikan hukum-hukum (kandungan)nya. Sampai-sampai salah seorang dari mereka berkata, “Aku telah membaca al-Qur’an) seluruhnya”, tapi tidak terlihat pada dirinya (aplikasi terhadap al-Qur’an) dalam akhlak dan perbuatannya.”[16] 

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Memperhatikan (merenungkan) al-Qur’an, artinya adalah memfokuskan mata hati terhadap kandungan maknanya serta menfokuskan pikiran untuk merenungkan dan memahaminya. Inilah maksud (tujuan) diturunkannya al-Qur’an, bukan hanya sekedar dibaca (lafazhnya) tanpa pemahaman dan penghayatan.”[17]

 Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata, “Inilah hikmah diturunkannya al-Qur’an, agar manusia merenungkan ayat-ayatnya, sehingga mereka bisa menyimpulkan ilmu-ilmunya, serta mengamati rahasia dan hikmahnya. Maka dengan merenungkan, menghayati dan memikirkan (kandungan) al-Qur’an berulang kali, akan diraih keberkahan dan kebaikannya. Ini menunjukkan anjuran untuk merenungkan (makna) al-Qur’an, bahkan ini termasuk amal (shaleh) yang paling utama dan sesungguhnya membaca al-Qur’an yang disertai perenungan terhadap maknanya lebih utama dari pada membacanya dengan cepat tanpa disertai perenungan.”[18]

 Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata, “Mentadabburi (merenungkan dan menghayati) al-Qur’an termasuk cara dan sarana terbesar untuk menumbuhkan dan menguatkan keimanan. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

 كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ 

Ini adalah sebuah kitab (al-Qur-an) yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah, supaya mereka merenungkan (makna) ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran [Shâd/38:29]

Maka mengeluarkan keberkahan al-Qur’an, yang terpenting di antaranya adalah menumbuhkan keimanan, cara dan metodenya adalah dengan merenungkan dan menghayati ayat-ayatnya.”[19]

 Inilah metode para Sahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Tabi’in (generasi setelah para Sahabat Radhiyallahu anhum) ketika mempelajari dan mendalami al-Qur’an. Imam Abu ‘Abdirrahman ‘Abdullah bin Habib as-Sulami al-Kûfi rahimahullah berkata, “Kami mempelajari al-Qur’an dari suatu kaum (para Sahabat Radhiyallahu anhum); ‘Utsmân bin ‘Affân Radhiyallahu anhu, ‘Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu dan selain mereka berdua. Mereka menyampaikan kepada kami bahwa dulunya ketika mereka mempelajari (al-Qur’an) dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sepuluh ayat, maka mereka tidak akan melewati ayat-ayat tersebut sampai memahami kandungan isinya, dalam ilmu dan amal. Mereka berkata, “kami (dulu) belajar al-Qur’an, memahami kandungannya dan pengamalannya secara keseluruhan.”[20] 

Di dalam al-Qur’an, Allâh Azza wa Jalla menerangkan keburukan besar pada diri orang-orang munafik, yaitu hati mereka yang tertutup untuk menerima kebenaran. Karena mereka berpaling dari merenungkan dan menghayati kandungan al-Qur’an. Allâh Azza wa Jalla berfirman: Baca Juga  Hukum Mengucapkan Shadaqallahul Azhim Ketika Selesai Membaca Al-Qur'an

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا 

Apakah mereka tidak mentadabbur (merenungkan kandungan makna) al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci (tertutup untuk menerima kebenaran)? [Muhammad/47:24]. Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata, “Arti ayat ini, apakah orang yang berpaling (munafik) itu tidak mentadabbur (merenungkan kandungan makna) al-Qur’an dan tidak menghayatinya dengan benar? Padahal kalau mereka (mau) mentadabburinya, maka al-Qur’an akan membimbing mereka kepada semua kebaikan, memperingatkan mereka dari semua keburukan, mengisi hati mereka dengan iman (kepada Allâh Azza wa Jalla ) dan jiwa meraka dengan keyakinan (yang benar). Sungguh al-Qur’an akan membawa mereka meraih kedudukan yang tinggi (di sisi Allâh Azza wa Jalla ) dan karunia yang sangat agung (dari-Nya). Al-Qur’an akan menjelaskan kepada mereka jalan yang mengantarkan kapada (keridhaan) Allâh, kepada surga disertai (penjelasan tentang) hal-hal yang menyempurnakan kenikmatannya atau hal-hal yang menghalangi untuk meraihnya. Al-Qur’an juga menjelaskan jalan yang mengantarkan kapada azab (neraka) dan hal-hal yang harus dijauhi. Al-Qur’an akan mengenalkan mereka kepada Allâh (dengan menjeaskan) nama-nama-Nya (yang maha indah), sifat-sifat-Nya (yang maha sempurna) dan kebaikan-Nya (yang maha agung). Al-Qur’an akan membangkitkan kerinduan mereka untuk (meraih) pahala yang besar (di sisi-Nya) dan menjadikan mereka takut akan siksaan-Nya yang pedih.”[21] 

SIAPAKAH AHLI AL-QUR’AN YANG HAKIKI? Allâh Azza wa Jalla berfirman

: الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلَاوَتِهِ أُولَٰئِكَ يُؤْمِنُونَ بِهِ ۗ وَمَنْ يَكْفُرْ بِهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ 

Orang-orang yang telah kami beri (turunkan) al-kitab (al-Qur’an) kepada mereka, mereka mentilawah (membaca)nya dengan tilawah yang sebenarnya, mereka itulah orang-orang yang beriman kepadanya. Dan barangsiapa yang ingkar kepadanya, maka mereka itulah orang-orang yang rugi (dunia dan akhirat) [Al-Baqarah/2:121] 

Ketika menjelaskan firman Allâh Azza wa Jalla di atas, Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Tilâwah al-Qur’an meliputi tilâwah (membaca) lafazhnya dan tilâwah (memahami) makna (kandungan)nya. Tilâwah makna al-Qur-an lebih mulia (utama) daripada sekedar tilâwah lafazhnya. Dan orang-orang yang memahami kandungan al-Qur-an merekalah ahli al-Qur-an, yang dipuji di dunia dan akhirat, karena merekalah yang ahli sejati dalam membaca dan mengikuti (petunjuk) al-Qur’an.”[22] 

Inilah makna hadits yang kami sebutkan di awal tulisan ini: Dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu beliau berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

: إِنَّ لِلَّهِ أَهْلِينَ مِنَ النَّاسِ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَنْ هُمْ؟ قَالَ: هُمْ أَهْلُ الْقُرْآنِ، أَهْلُ اللَّهِ وَخَاصَّتُهُ 

“Sesungguhnya di antara manusia ada yang menjadi ‘ahli’ Allâh”. Para Sahabat g bertanya, “Wahai Rasûlullâh! Siapakah mereka?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Mereka adalah ahli al-Qur’an, (merekalah) ahli (orang-orang yang dekat dan dicintai) Allâh dan diistimewakan di sisi-Nya Ahli al-Qur’an adalah orang-orang beriman yang berusaha menghafalnya dan membacanya dengan benar, serta memahami dan mengamalkan kandungannya, jadi bukan hanya sekedar membaca dan menghafal lafazhnya.[23] 

Oleh karena itu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela dan melaknat orang-orang Khawarij, padahal banyak di antara mereka yang menghafal dan banyak membaca al-Qur’an, tapi mereka tidak memahaminya dan tidak mengambil manfaat dari petunjuknya.[24]

 Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

: يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ 

Mereka (orang-orang Khawarij) pandai membaca (menghafal) al-Qur’an tapi tidak melampaui tenggorokan mereka[25]

 Inilah makna ucapan dari salah seorang ulama Salaf yang berkata, “Terkadang ada orang yang (pandai) membaca al-Qur’an, tapi al-Qur’an (justru) melaknat dirinya”[26]. 

Dalam hal ini, Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tujuan dari membaca al-Qur’an adalah untuk memahami, merenungkan, mendalami (kandungan maknanya) dan mengamalkannya. Adapun membaca dan menghafalnya adalah sarana untuk (memahami) isinya, sebagaimana ucapan salah seorang Ulama salaf: “Al-Qur’an diturunkan untuk diamalkan, maka jadikanlah bacaannya sebagai amalan. Oleh karena itu, (yang disebut) ahli al-Qur-an adalah orang-orang yang memahami isinya dan mengamalkan (petunjuk)nya, meskipun mereka tidak menghafalnya di luar kepala. Adapun orang yang menghafal al-Qur’an, tapi tidak memahami (kandungan)nya dan tidak mengamalkan petnjuknya, maka dia bukanlah ahli al-Qur-an, meskipun dia mampu menegakkan huruf-hurufnya (lafazhnya) seperti tegaknya anak panah…Juga dikarenakan keimanan adalah amalan yang paling utama, sedangkan memahami dan merenungkan al-Qur’an inilah yang membuahkan iman. Adapun hanya sekedar membacanya tanpa memahami dan merenungkannya, maka ini bisa dilakukan oleh orang yang shaleh maupun jahat, dan orang yang beriman maupun munafik, sebagaimana sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam 

: مَثَلُ الْمُنَافِقِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ مَثَلُ الرَّيْحَانَةِ، رِيحُهَا طَيِّبٌ وَلَا طَعْمَ لَهَا 

Perumpamaan orang munafik yang membaca al-Qur’an adalah seperti (tumbuhan) raihanah, baunya harum tetapi rasanya pahit[27]

PENUTUP Semoga tulisan ini bermanfaat dan menjadi motivasi bagi kita semua untuk lebih semangat dan bersungguh-sungguh dalam membaca al-Qur’an, berusaha menghafalnya dan memahami kandungan maknanya, untuk memudahkan kita – dengan izin Allâh Azza wa Jalla – merenungkan dan menghayati isinya yang merupakan sebab utama untuk menumbuhkan dan menyempurnakan keimanan kita. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman: 

إِنَّ هَٰذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا كَبِيرًا 

Sesungguhnya al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang agung [al-Isrâ’/17:9]. Akhirnya, kami menutup tulisan ini dengan memohon kepada Allâh Azza wa Jalla dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar Dia k menjadikan kita semua sebagai ahli al-Qur’an. Sesungguhnya Dia k maha mendengar lagi maha mengabulkan do’a. 

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XIX/1436H/2015. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079 ] _______ 

Footnote

 [1] HR Ahmad, 3/127; Ibnu Mâjah, 1/78; dan al-Hâkim, 1/743; Hadits ini dinyatakan hasan oleh Imam al-‘Iraqi (Takhrîj al-Ihyâ 1/222) dan as-Sakhawi (Kasyful khafâ’, hlm. 292), dan dinyatakan shahih oleh Imam al-Hakim dan Syaikh al-Albani.
[2] Lihat kitab Faidhul Qadîr , 3/67 
[3] Kitab Taisîrul Karîmir Rahmân, hlm. 825
[4] Lihat keterangan Imam Ibnul Qayyim dalam kitab Miftâhu Dâris Sa’âdah, 1/51 
[5] HSR. Al-Bukhâri, no. 4739 
[6] Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (3/499). 
[7] Dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim dalam kitab Miftâhu Dâris Sa’âdah, 1/165 
[8] Kitab Miftâhu Dâris Sa’âdah, 1/74 
[9] Lihat kitab Tafsir Ibni Katsîr, 2/553 dan Fathul Qadîr, 2/656 
[10] Kitab Taisîrul Karîmir Rahmân, hlm. 454 
[11] Kitab Ighâtsatul Lahfân, 1/44
[12] Kitab al-Fawâ-id, hlm. 3 
[13] Kitab al-Fawâ-id, hlm. 3 
[14] Kitab Ighâtsatul Lahfân, 1/44 
[15] Lihat keterangan Syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’di dalam tafsir beliau Taisîrul Karîmir Rahmân, hlm. 315 
[16] Dinukil oleh Imam Ibnu Katsir dalam kitab Tafsir Ibni Katsîr, 4/43 
[17] Kitab Madârijus Sâlikîn, 1/451 
[18] Kitab Taisîrul Karîmir Rahmân, hlm. 712 
[19] Kitab at-Taudhîh wal Bayân li Syajaratil îmân, hlm. 51
[20] Dinukil oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Daqâ-iqut Tafsîr (2/227) dan adz-Dzahabi dalam Siyar A’lâmin Nubalâ’, 4/269 
[21] Kitab Taisîrul Karîmir Rahmân, hlm. 788 
[22] Kitab Miftâhu Dâris Sa’âdah, 1/42 
[23] Lihat kitab Faidhul Qadîr, 3/67 
[24] Lihat kitab Syarhu Shahîh Muslim, 7/159 
[25] HSR. Al-Bukhâri, 3/1219 dan Muslim , no. 1064 
[26] Dinukil oleh Imam Abul Fadhl al-Alusy dalam tafsir beliau Rûhul Ma’â-ni, 22/192 
[27] Kitab Zâdul Ma’âd, 1/323. Hadits di atas riwayat al-Bukhari, no. 5111 dan Muslim, no. 797

Referensi: https://almanhaj.or.id/6307-jadilah-ahli-alquran.html